Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penghakiman Versus Pengampunan

Matius 7:1-5 (TB)  "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."

PENGERTIAN MENGHAKIMI

Kata ‘menghakimi’ berasal dari istilah Yunani: ‘krinete’ yang arti dasarnya adalah ‘menilai, menganggap, menyatakan atau memutuskan sesuatu’.

Meskipun arti dasarnya sebenarnya bersifat netral, namun biasanya dipakai dalam pengertian negatif, karena merasa diri benar dan pihak lain yang salah.

Hidup ini memang tentu tidak dapat dipisahkan dari yang namanya penilaian atau anggapan baik dari orang lain terhadap kita maupun sebaliknya penilaian kita terhadap orang lain.

Yang perlu diperhatikan disini adalah standar seperti apa yang kita gunakan untuk menghakimi atau menilai orang lain sehingga kemudian menentukan sikap kita terhadap orang tersebut.

STANDAR MENGHAKIMI

Standar yang salah dalam penghakiman
Dendam/sentimen pribadi, tidak suka dengan orang lain, sikap iri hati, kesombongan dan sebagainya merupakan contoh standar yang salah dalam menghakimi.

Inilah yang dilakukan oleh orang Farisi dan Ahli Taurat, sehingga penghakimannya tidak obyektif.

Dari jaman Yesus hidup, perilaku seperti netizen jaman now yang julid itu sudah ada, mulut lancip tetangga yang suka iri dan nyinyir itu sudah ada.

Ada orang-orang yang mengikuti Yesus itu bukan untuk belajar, tetapi untuk jadi provokator atau komentator, serta selalu mencari kesalahan Yesus.

Saudara mungkin pernah mengalami hal yang sama, seperti yang Yesus alami. Ada orang-orang tertentu yang entah kenapa memandang kita selalu salah dimata mereka. Hidup kita selalu dikomentari dan dihakimi dengan tidak benar.

Kenapa begitu? Karena sebagian besar orang meletakan dasar yang salah dalam menghakimi.

Iri hati dan keegoisan memang sangat berbahaya. Alkitab mencatat bahwa dimana ada iri hati disitu pasti timbul kekacauan.

Yakobus 3:14-16 (TB)  Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran!
Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan.
Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.

Kesombongan atau merasa diri paling benar juga akan membawa kepada penghakiman yang salah.

Lukas 18:9-14 (TB)  Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:
"Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."

Inilah standar yang salah dalam menilai atau menghakimi orang lain, yakni hanya berdasarkan emosi negatif dalam diri kita yang bisa berupa iri hati, sakit hati, dendam atau kesombongan karena merasa diri lebih benar dibandingkan dengan orang lain.

Bahayanya adalah kerapkali standar yang salah ini tidak diketahui atau disadari oleh orang yang melakukannya. Mereka merasa sudah benar sehingga tidak dapat melihat kekurangan dan kesalahan diri sendiri.

Matius 7:3 (TB)  Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Oleh karena itu, Introspeksi diri terlebih dahulu, sebelum kita menilai atau menghakimi orang lain. Keluarkan balok didalam mata, baru dapat melihat dengan lebih jelas.

Matius 7:5 (TB) Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."

Apakah standar kita saat menilai atau menghakimi orang lain sudah benar?

Apakah ada iri hati, dendam pribadi atau kesombongan saat kita menilai atau menghakimi orang lain?

Karena standar yang benar dalam penghakiman adalah Firman Tuhan.

Standar yang benar dalam penghakiman

Firman Tuhan. Segala sesuatu harus dikembalikan kepada kebenaran-Nya yang menentukan benar atau salah (2Tim 3:16-17).

2 Timotius 3:16-17 (TB)  Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.

Oleh karena itu yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus bukanlah berarti kemudian kita menutup mata dan tidak bisa menilai orang lain sehingga kita tidak bisa memutuskan langkah yang benar bagi hidup kita.
Sebaliknya agar kita dapat menilai dan menganggap orang lain dengan standar yang benar sehingga kita bisa menetapkan atau memutuskan tindakan seperti apa yang perlu kita lakukan.

Sebab jika tidak bisa menilai atau menghakimi dalam standar yang benar justru akan berbahaya bagi kita. Kita menjadi tidak tahu mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Kemudian itu bisa menyebabkan kita terbawa arus ketidakbenaran.

Misalkan saja bila kita mengetahui bahwa seseorang memiliki kebiasaan yang tidak benar dan tak sesuai dengan Firman Tuhan kemudian mengajak kita melakukan hal yang sama.

Tentu disini kita bisa menilai bahwa hal itu tidak benar dan kemudian mengambil keputusan untuk tidak ikut melakukan hal tersebut.

Contoh:
Waktu sekolah saya bergaul dengan banyak teman yang kemudian melakukan hal-hal tidak benar seperti merokok, minum minuman keras, berjudi, pacaran melewati batas.

Tentu saya harus menilai itu sebagai sesuatu yang tidak benar dan bertentangan dengan Firman Tuhan sebab sebagai orang percaya standar kita adalah Firman Tuhan. Maka  kemudian saya mengambil keputusan untuk tidak ikut melakukannya.

Saya melakukan 'krinete' atau menghakimi yakni menilai, menganggap, menyatakan itu tidak benar dengan standar Firman Tuhan dan kemudian memutuskan untuk tidak melakukan.

Namun karena saya tidak ada iri hati, dendam atau sentimen pribadi terhadap teman-teman saya itu, maka saya tetap berteman dengan orang-orang itu dalam hal-hal yang lain seperti saat belajar kelompok atau saat olahraga atau bermain.

Saya tidak kemudian memusuhinya atau benci atau kemudian menganggap diri lebih benar dari orang-orang tersebut.

Inilah yang perlu kita pahami bersama bahwa saat menghakimi sesuatu atau orang lain kita diperhadapkan pada sebuah pertanyaan mendasar untuk kita tanyakan kepada diri kita sendiri yakni atas standar seperti apa kita menilai atau menghakimi orang lain.

Hal lain yang perlu kita ingat dalam memberikan penilaian atau menghakimi orang lain adalah adanya konsekuensi yang kita dapat saat menghakimi orang lain

Konsekuensi Dalam Menghakimi

1. Jika kita menghakimi dengan standar yang salah  maka kita disebut orang yang munafik

Matius 7:5 (TB)  Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."

2. Standar yang kita tetapkan untuk menghakimi orang lain itu juga ditetapkan bagi kita

Matius 7:1-2 (TB)  "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

Karena sebagai manusia kita punya kecenderungan memberikan penghakiman secara keliru kepada orang lain atas kesalahan mereka, maka langkah lebih baik adalah kembalikan penghakiman kepada Tuhan yang memiliki hak untuk melakukan hal tersebut.

Roma 12:19-21 (TB)  Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!

Bagian kita adalah belajar mengampuni orang yang bersalah kepada kita, bukan menghakiminya

PENGHAKIMAN Versus PENGAMPUNAN

Penghakiman seringkali muncul saat orang melakukan kesalahan.

Saat ada seseorang yang jelas-jelas melakukan kesalahan, respon kita seringkali menghakimi dan memojokkan orang tersebut seolah kita sudah yang paling benar. Apalagi bila kesalahan itu dilakukan orang terhadap kita

Misalkan suami yang kasar atau selingkuh, istri yang tidak menghormati suami dan membicarakan kejelekan suami dikumpulan ibu-ibu, orangtua yang menurut anaknya pilih kasih, anak yang karena pergaulan kemudian melakukan kesalahan dan berontak terhadap orangtua.

Bila hal-hal itu terjadi yang kerapkali kita lakukan adalah menghakimi, kita melupakan bahwa respon yang paling tepat dan benar sesuai teladan Yesus adalah mengampuni bukan menghakimi

Mengapa Pengampunan bukan Penghakiman?

1. Karena Kita Lebih Dahulu Diampuni

Seperti perumpamaan hamba yang punya hutang sepuluh ribu talenta dan dihapuskan hutangnya oleh raja tetapi kemudian tidak mau mengampuni temannya yang berhutang jauh lebih sedikit yakni seratus dinar.

Kerapkali kita lupa bahwa hutang dosa kita yang sudah Tuhan ampuni begitu besar, namun kita masih terus mengungkit dan menghakimi orang lain yang melakukan kesalahan yang mungkin jauh lebih kecil bila dibandingkan dosa kita terhadap Tuhan.

Ingat bila kita tidak mau mengampuni maka kita juga tidak akan diampuni, karena ukuran yang kamu ukurkan akan diukurkan kepadamu

Matius 7:2 (TB)  Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

Akhir cerita hamba itu dihukum raja

Matius 18:32-35 (TB)  Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku.
Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?
Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu."

2. Pengampunan Itu Memulihkan

Yesus beberapa kali mengajarkan dan sekaligus menegaskan bahwa pengampunan itu menjadi pilihan yang selalu Yesus utamakan kepada orang yang bersalah.

Contoh dalam kisah seorang perempuan yang kedapatan berzinah.

Yohanes 8:7-11 (TB)  Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."
Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.
Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.
Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"
Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Yesus memilih untuk mengampuni perempuan yang berzinah tersebut sebab Yesus tahu bahwa pengampunan itulah yang akan membawa pemulihan bagi perempuan itu.

Perempuan tersebut oleh banyak penafsir Alkitab disebut sebagai salah satu dari beberapa wanita yang terus mengikuti Yesus bahkan sampai pada penyaliban.

Ingat pengampunan itu memulihkan. Setiap orang punya potensi untuk berubah menjadi lebih baik. Oleh karena itu jangan menilai atau menghakimi orang lain berdasarkan masa lalu atau kesalahannya.

Tuhan Yesus saja memberikan kesempatan kedua bagi orang yang berdosa untuk berubah dan memperbaiki kesalahannya. Mengapa kita tidak mau mengampuni dan hanya menghakimi karena rasa sakit hati kita?

3. Pengampunan Menunjukkan Siapa Kita

Pengampunan menunjukkan kita hidup dalam kebenaran, sebaliknya penghakiman yang keliru menunjukan ada ketidakberesan dalam hati kita

Matius 12:34-37 (TB)  Hai kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat mengucapkan hal-hal yang baik, sedangkan kamu sendiri jahat? Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati.
Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.
Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum."

Orang Farisi yang selalu menghakimi Yesus dan berkata yang jelek tentang Yesus disebut sebagai orang yang didalam hatinya tidak ada kebenaran.

Perbendaharaan hatinya jahat semata-mata. Perkataan yang jahat meluap dari hati yang jahat yang hanya bisa mencemooh, mencela dan menghakimi.

Ketika kita mulai komentar dan menilai negatif tentang orang lain, yang harus kita perhatikan dan bereskan adalah hati kita. Jangan-jangan hati kita memang isinya yang jahat saja.

Ingat bahwa Tuhan melihat hati, bukan sekedar tampilan luar kita.

1 Samuel 16:7 (TB)  Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."

Maka jika ada seseorang berbuat salah jangan terburu menghakimi dan memojokkan, namun berilah ruang dalam hati kita bagi pengampunan itu terlebih dahulu.

Intropeksi dulu dan lihat itu dengan mata hati yang bersih sesuai dengan Firman Tuhan barulah bantu orang bersalah itu agar bisa memperbaiki diri.

Keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.

Hari ini kita belajar untuk tidak menghakimi secara keliru, yang hanya berdasarkan emosi negatif seperti iri hati, ketidaksukaan kita, dendam dan sebagainya, namun gunakanlah standar kebenaran Firman Tuhan.

Menilai atau menghakimi orang lain menurut standar Firman Tuhan bukan untuk menjatuhkan orang lain, tetapi sebaliknya untuk menjaga diri agar tidak jatuh dalam kesalahan yang sama sekaligus menolong orang lain memperbaiki diri

Jika ada yang melakukan kesalahan jangan menghakimi orang tersebut dengan keliru, tetapi lepaskanlah pengampunan karena kita lebih dahulu diampuni, karena pengampunan membawa pemulihan dan karena dengan pengampunan menjadi bukti kita hidup dalam kebenaran

Kiranya Tuhan memberkati kita semua dan membuat kita menjadi orang yang mampu mengampuni bukan sekedar menghakimi, amin..

Posting Komentar untuk "Penghakiman Versus Pengampunan"